Kadek Suartaya. BP/IstimewaOleh Kadek SuartayaMasyarakat dunia telah mengenal Bali sebagai Pulau Kesenian. Penulis buku ’Island of Bali’’ 1937, Miguel Covarrubias, menyebut semua orang Bali adalah seniman. Ritual keagamaan yang tiada henti bergulir sambung-menyambung sepanjang tahun di Pulau Dewata, senantiasa disertai dengan keindahan kehidupan penduduknya dengan adat dan tradisi yang lestari, tak pernah jeda dengan lantunan suara gamelan di seluruh penjuru pulau. Namun tahun 2020 adalah hari-hari senyap bagi kesenian sembilan bulan terakhir ini, sumringah kesenian Bali kuyu layu. Wabah Corona yang mencengkeram jagat, memasung segala aktivitas seni. Kegiatan berkerumunan yang dibatasi, bahkan dilarang, mengekang penampilan beragam ekspresi seni. Seni pertunjukan yang merupakan bagian penting dalam ritual keagamaan, sebagai tontonan masyarakat, dan atraksi seni yang diminati wisatawan, tersungkur di pojok teronggok pegiat seni yang tulus melakoni kesenimanannya dan profesionalitasnya termangu sedu. Kegetiran nan menggelisahkan seperti ini belum pernah terjadi pada dunia seni di tengah masyarakat yang ber-’DNA’’ seni Bali pada umumnya, gundah walau harus pasrah. Peristiwa kesenian keagamaan yang terjegal oleh malapetaka Covid-19 di tahun 2020 adalah kreativitas seni ogoh-ogoh pada hari raya Nyepi di bulan Maret dan persembahan ngelawang hari raya Galungan dan Kuningan di bulan yang telah dipersiapkan oleh anak-anak muda Bali sejak sekitar awal Januari, saat ritual pangerupukan — sehari jelang Nyepi — tak berkesempatan diarak. Ogoh-ogoh yang menggambarkan karakter menyeramkan, membisu pula saat Galungan-Kuningan pada pertengahan September, sajian ngelawang aneka bentuk barong yang lazim dibawakan para remaja, tak tampak berkeliling desa menyambangi penonton. Ritual atau pentas seni nomaden yang ditunggu-tunggu masyarakat Bali ini tak hadir memberi rahmat dan menyuguhkan ritual keagamaan dalam konteks panca yadnya, selain memiliki arti esensial dalam prosesi upacara, juga sebagai wahana ngayah persembahan bakti. Namun dewa yadnya yang memberi ruang luas pada suguhan seni, di tahun 2020 begitu merana di bawah teror Corona. Kumandang kidung suci yang dibawakan sekaa pesantian tak terdengar alunannya. Denting gamelan Slonding yang wingit hingga sajian teduh lelambatan Gong Gede tak tampak unjuk beragam variasi tari Rejang yang lestari di seluruh Bali tersipu diam. Juga teater Topeng Sidakarya sebagai ungkapan legitimasi sebuah ritual keagamaan, tidak unjuk tutur berkisah dan berpetuah di hadapan masyarakat religius Bali. Begitu nelangsanya kesenian Bali di tengah kecemasan akibat grubug dunia ketika bencana atau wabah penyakit menerjang masyarakat Bali, justru merebak fluktuasi kehadiran kesenian tolak bala. Kesenian peninggalan zaman prasejarah ini, yaitu beragam tari Sanghyang, diusung takzim sebagai pelindung masyarakat, tampil dalam atmosfer magis. Sanghyang Dedari di Bali Selatan, Sanghyang Memedi di Bali Utara, Sangyang Bojog di Bali Barat, Sanghyang Celeng di Bali Timur, dan Sanghyang Jaran di Bali Tengah adalah simbolisme transedental yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit atau menetralisir kecemasan, menghalau ketakutan yang tetapi kini, di tengah penerapan protokol kesehatan, physical distancing dan social distancing, tidak terlihat adanya komunitas masyarakat yang berserah diri akan keselamatannya, mohon perlindungan Hyang Widhi lewat perantara tari luar sajian seni yang berkaitan langsung atau tak langsung dengan aktivitas keagamaan, masyarakat Bali menyayangi seni sebagai balih-balihan. Dalam bingkai ini, kesenian Bali ditempatkan sebagai tontonan presentasi estetik yang bermuatan tuntunan. Nasibnya di tahun 2020 ini juga memilukan. Gemulai eloknya tari Legong, merdunya tembang yang dikisahkan dramatari Arja, dan kenes menterengnya seni kebyar — untuk menyebut sebagian kecil dari seni balih-balihan — semuanya pada tiarap istirahat tanpa penonton pun kehilangan asupan batin, melakoni hari-hari nestapa kehidupan dengan nurani gersang. Sebab, jagat seni bagi masyarakat Bali bukan sekadar tontonan namun juga membinarkan tuntunan yang mencemeti optismisme betapa kesenian merupakan representasi semangat kehidupan dapat ditelusuri pada arena berkesenian yang dikenal dengan Pesta Kesenian Bali PKB. PKB 2020 yang urung diselenggarakan akibat wabah Covid-19, sungguh ’kejam’’ menelikung semangat para insani seni dan masyarakat penonton pecinta seni. Bagaikan petir di siang bolong, tanpa berkabar, pagebluk yang menyeringai mengancam penduduk dunia, ’meluluhlantakkan’’ perhelatan seni yang semestinya berlangsung pada bulan pegiat seni di seantero Bali, tertegun dan termangu, menghadapi pembatalan forum seni bergengsi yang telah bergulir sejak tahun 1979 tersebut. Persiapan yang telah dilakukan jauh-jauh hari dianulir oleh malapetaka yang tidak kenal kompromi. Semangat kehidupan berseni budaya, menenun kemuliaan peradaban bangsa, sementara mesti dikendurkan, berharap suatu saat jika wabah telah sirna, kembali menggeliat adalah pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar
Patut diapresiasi. Bangga jadi orang Bali Ajang tahunan Pesta Kesenian Bali PKB ke-41 tahun 2019 resmi berakhir ditandai dengan penutupan yang dilaksanakan di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Art Center Denpasar, Sabtu 13/7 malam lalu. Namun sebelum semuanya berakhir, untuk mengapresiasi pengabdian para seniman yang telah memajukan seni budaya Bali, Pemerintah Provinsi Bali memberikan penghargaan pengabdi seni kepada 11 seniman penghargaan diberikan pada 4 Juli 2019 lalu. Tidak saja penghargaan berupa piagam dan uang, Gubernur Bali I Wayan Koster juga menawarkan dua pilihan. Bisa jaminan kesehatan bila sang seniman sudah mulai sakit-sakitan, atau jaminan pendidikan untuk anak cucunya di kemudian seniman penerima penghargaan pengabdi seni ini diantaranya Dewa Putu Gingsir Seniman Sastra dari Badung, I Nyoman Sukanta Seniman Ukir Telor dari Bangli, Anak Agung Gede Ngurah Agung Pemayun Seniman Tari dan Tabuh dari Buleleng, I Nyoman Suarsa Seniman Tari dari Denpasar, I Wayan Sugita Seniman Drama Gong dari Gianyar.Ada juga I Komang Arsana Seniman Sastra Daerah dari Jembrana, Ida Ayu Karang Adnyani Dewi Seniman Tari dari Karangsem, Ida Bagus Ketut Wedana Seniman Sastra dari Klungkung, I Ketut Suada Seniman Tari Arja dari Tabanan, I Wayan Gulendra Seniman Lukis dari ISI Denpasar, dan I Wayan Senen Seniman Karawitan yang berkarya dari Yogyakarta.Mereka merupakan seniman terpilih yang telah melalui proses seleksi oleh Tim Kurator Pesta Kesenian Bali. Seperti apa sih sepak terjang mereka? Berikut profilnya1. Dewa Putu Gingsir Badung Times/IstimewaDewa Putu Gingsir 71 merupakan seniman asal Banjar Sangiangan, Desa Cemagi, Kabupaten Badung yang terkenal aktif menekuni bidang sastra. Sejak tahun 1980-an, ia terjun di bidang seni dharmagita khususnya kekawin atau palawakya. Dari menekuni bidang tersebut, ia pun kerap meraih prestasi. Berikut prestasi beliau Juara III Lomba Palawakya Tingkat Kabupaten Badung 1989 Juara I Lomba Kekawin Tingkat Kabupaten Badung 1990. Juara II Lomba Kekawin Tingkat Provinsi Bali 1991 Juara I Lomba Palawakya Tingkat Provinsi Bali 1993 Juara II Lomba Membaca Palawakya Utsawa Dharma Gita Nasional 1993 Masih banyak lagi prestasi beliau. Pengalaman dan kompetensinya dibidang dharmagita membuat Dewa Putu Gingsir sering dipercaya menjadi dewan juri pada ajang lomba kekawin maupun palawakya. Berkat pengalamannya di tingkat nasional, ia juga kerap ditunjuk sebagai pembina kontingen Bali pada ajang yang sama di beberapa daerah seperti di Jakarta 2003 dan 2012, Lampung 2005, Kendari 2007, Bali 2009, dan Palembang 2014. Bagi Dewa Gingsir, seni sastra merupakan salah satu cara dalam mendalami pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengan spirit keagamaan. Di dalamnya banyak terkandung sikap-sikap mental positf yang membentuk budi ataupun perilaku tentang pengetahuan akan spirit agama. Sehingga seorang seniman yang mendalami sastra tentu kaya akan I Nyoman Sukanta BangliIDN Times/Irma YudistiraniI Nyoman Sukanta 57 merupakan seniman asal Banjar Pande, Kecamatan/Kabupaten Bangli yang menggeluti seni ukir. Uniknya, dia menekuni seni ukir telur. Berkat tangan dinginnya, limbah-limbah kulit telur disulap menjadi karya seni yang bernilai tinggi. I Nyoman Sukanta mewarisi bakat seni ukir dari sang ayah, Alm. I Nyoman Tanggap. Awalnya, Sukanta menekuni seni ukir kayu, namun saat melihat sang ayah memahat telur, timbul keinginan Sukanta untuk ikut mencoba. Sayangnya keinginannya tersebut tak lantas diamini sang Ayah. Sukanta akhirnya melakukan secara diam-diam saat Ayahnya tidak kemampuan dan keteguhan yang dimiliki Sukanta, sang ayah akhirnya mengizinkannya untuk menekuni seni ukir telur. Telur yang digunakan Sukanta sebagai media ukir tidak sembarang telur. Ia memilih kulit telur burung unta dan burung kaswari sebagai tempat mencurahkan seni ukir telur, Sukanta memperoleh banyak pengalaman. Tahun 1996 Sukanta pernah diundang ke Istana Negara oleh Ibu Tien Soeharto Alm untuk ikut dalam pameran Ria Pembangunan. Selain itu Sukanta pernah juga ikut dalam Indonesia Expo di Monumen Nasional Monas Jakarta tahun 2001, dan INACRAFT di Jakarta Convention Centre JCC tahun 2008 lalu. Kini, karya seni ukir telurnya sudah didaftarkan ke Kementrian Hukum dan HAM, dan memperoleh Hak atas Kekayaan Intelektual HaKI pada tahun 2017 Anak Agung Gede Ngurah Agung Pemayun BulelengIDN Times/Irma Yudistirani Sosok Anak Agung Gede Ngurah Agung Pemayun 64 dikenal sebagai seniman tari asal Bali Utara, Buleleng. Dalam penyerahan penghargaan pengabdi seni beberapa waktu lalu terungkap, rupanya pria yang akrab dipanggil Gung Kak ini ternyata guru seni Gubernur Bali, I Wayan Koster, saat menempuh pendidikan di SMA Negeri tari yang tinggal di Jalan Pulau Misol Nomor 38, Singaraja, ini memiliki segudang prestasi. Tak hanya seni yang berbau tradisi, Gung Kak pun handal dalam menggarap seni modern seperti teater ataupun drama, di antaranya Juara I Lomba Drama Modern tingkat Kabupaten Buleleng 1985 dan Juara I Festival Cak se-Bali 1994.Kemudian bersama Sekaa Gong Banda Sawitra, Desa Kedis, Gung Kak mengikuti Festival Tari Klasik dan Tradisional tahun 1975. Sementara saat bersama sekaa Gong Desa Menyali, ia mengikuti Parade Sendratari Ramayana di Banyuwangi, Jawa Timur tahun lainnya, Gung Kak juga memiliki andil menjadi penggarap bondres Cak Anti Narkoba tahun 2000 sebagai duta Provisi Bali. Juga membawakan Tari Janger saat mewakili Bali dalam Festival Tari Rakyat Nasional tahun bidang organisasi, dirinya tercatat pernah ikut aktif dalam kepengurusan Ikatan Seni Tari dan Tabuh ISTATA Kabupaten Buleleng tahun 1985-1990. Bahkan Agung Pemayun dipercaya selama empat periode ikut sebagai Majelis Pertimbangan Budaya Listibya Kabupaten Buleleng dari tahun 1990 hingga I Nyoman Suarsa DenpasarIDN Times/Irma Yudistirani Meski lahir dari trah seorang Cina Bali, namun kemampuan I Nyoman Suarsa 62 tahun sebagai seniman tari di Bali tak bisa diragukan lagi. Seniman asal Wangaya, Denpasar yang lebih dikenal masyarakat dengan nama Yang Pung ini memiliki kontribusi besar dalam dinamika perkembangan tari di menapaki panggung seni pertunjukan Bali lewat tari Baris dan Kebyar Terompong sejak kelas 3 SD. Kemampuan yang ia miliki sebagai seorang penari bisa dikatakan secara otodidak. Gerakan demi gerakan ia perhatikan dengan saksama membuatnya semakin termotivasi untuk belajar menari meskipun sang ayah Nyo Chichyang dalam menerima ilmu membuat banyak orang kagum, sebab saat itu tak banyak anak-anak yang pandai menguasai tari Baris sebaik dirinya. Ia kemudian mulai tertarik dengan tari Kebyar Terompong saat ia menonton pagelaran Gong Geladag di Pemedilan pada era 1970-an. Ayahnya kemudian mencarikan ia seorang guru bernama Pan Dena alm asal Lukluk, akhirnya ia juga berkesempatan menimba ilmu dari seniman karawitan I Wayan Beratha yang banyak mengajarinya agem-agem tari Kebyar Terompong hingga pentas perdana di Banjar Sad Merta Denpasar. Dia juga beberapa kali merasakan indahnya menari di Istana Negara, dan memberikan workshop tari di Universitas Negeri juga tercatat pernah pentas di Taman Mini Indonesia Indah TMII, menjadi penari dalam acara “Taue Song Asian Festival” tahun 2005 di Jepang hingga menjadi duta Kesenian ke beberapa Negara di Eropa. Beberapa acara yang pernah ia garap di antaranya Mahabandana, dan Menyongsong Matahari yang kini berganti nama menjadi Melepas kredibilitasnya sebagai seorang seniman, Suarsa juga menciptakan banyak karya-karya tari. Di antaranya Tari Gopala dan Tari Tedung Sari yang tetap eksis diajarkan kalangan sanggar-sanggar tari di hampir seluruh wilayah di Bali hingga I Wayan Sugita GianyarIDN Times/Irma Yudistirani Sempat jaya pada era 1980-an, Seni Drama Gong banyak mengalami pasang surut. Keberadaannya kian meredup, digantikan seni-seni pertunjukan lainnya. Tetapi I Wayan Sugita 54, seniman Drama Gong yang terkenal memainkan peran antagonis Patih Agung ini tak mau menyerah begitu saja. Seniman asal Banjar Bukit Batu, Samplangan Gianyar terus berupaya berkarya melestarikan seni yang membesarkan namanya Patih Agung yang diambilnya selalu mengudang caci maki penonton. Bukan karena penampilannya yang buruk melainkan karena ia berhasil memainkan lakon tersebut. Ia pertama kali mencicipi seni drama gong pada tahun 1984 mewakili Kabupaten Gianyar dalam ajang Pesta Kesenian Bali PKB. Kala itu, kelompok seninya, sekaa drama gong Saraswati meraih juara situ, ia terus menekuni perannya sebagai Patih Agung. Ia beberapa kali berganti sekaa mulai dari bersama sekaa Panjamu Asrama, sekaa Wira Bhuana yang melahirkan nama nama besar seperti Rawit, Suratni, Jero Madyayani. Sugita pernah pula bergabung dalam Kerthi Bhuana, dan Bintang Remaja Gianyar. Bersama Bintang Remaja Gianyar, Sugita dipercaya mewakili Kabupaten Gianyar dalam lomba drama gong di PKB pada tahun 1993 dan meraih juara juga tercatat pernah mengantarkan sekaa drama gong Bandana Budaya sebagai juara 2 di tahun 1994. Ia juga yang membina sekaa drama duta Kota Denpasar dalam PKB tahun 1995 hingga peroleh juara 1. Kemudian di tahun 1997 Sugita membentuk sekaa drama gong Sancaya Dwipa Milenium bersama almarhum Wayan Tarma Dolar yang eksis hingga kurun era tahun 2000, perkembangan drama gong mulai menurun. Menyikapi hal tersebut, Sugita berkomitmen mengembangkan seni drama gong agar tetap eksis, berkembang, dan disukai banyak orang. Munculah sikap Sugita membentuk SEKDUT Sekaa Demen Ulian Tresna, dimana sekaa ini mewadahi grup bondres, prembon, peguyuban lawak, calonarang, hingga MC berbahasa Bali tanpa meninggalkan seni drama gong sebagai I Komang Arsana JembranaIDN Times/Irma Yudistirani I Komang Arsana 66 merupakan seniman asal Kabupaten Jembrana yang aktif di bidang Dharmagita. Meski usianya tak lagi muda, Arsana tetap tekun dalam seni dharmagita khususnya sloka dan kakawin. Berbagai prestasi diraihnya karena kemampuannya dalam olah vokal dan kecakapannya pada seperti mewakili Kabupaten Jembrana dalam Utsawa Dharma Gita tingkat provinsi dalam bidang lomba kekawin tahun 1986. Saat itu, ia menyabet juara I. Prestasinya di bidang sekar agung tersebut mengantarkannya untuk maju mewakili Provinsi Bali dalam Utsawa Dharma Gita tingkat nasional pada tahun kompetensi yang ia miliki, Arsana dipercaya untuk duduk sebagai ketua Widya Sabha Kabupaten Jembrana dua periode berturut-turut. Organisasi itu ia ketuai mulai tahun 2010-2015 dan periode ke dua tahun 2015 hingga 2020 mendatang. Selain itu, dirinya juga dipercaya untuk menjadi pembina Utsawa Dharma Gita di Kabupaten secara khusus dilantunkan saat berlangsungnya ritus keagamaan. Mendalami seni dharmagita tentunya bukan perkara mudah, karena dibutuhkan kepiawaian dalam melantunkan nada-nada serta pendalaman tentang pengetahuan keagamaan. Meski tidak mudah, namun Arsana percaya ilmunya dalam hal sloka dan dharma wacana bisa ia tularkan pada generasi muda di Ida Ayu Karang Adnyani Dewi Karangasem Times/IstimewaDari sekian banyak seniman yang menerima penghargaan, Ida Ayu Karang Adnyani Dewi 63 adalah satu-satunya perempuan. Sisanya laki-laki. Perannya dalam merekonstruksi seni klasik Gambuh serta menciptakan karya-karya tari baru menjadi sebuah kebanggaan yang ia rasakan sebagai seorang asal Griya Alit, Dusun Tri Wangsa, Budakeling, Karangasem ini setelah menyelesaikan pendidikannya, ia kemudian bekerja sebagai seorang Dosen di IKIP Saraswati Tabanan sejak tahun 1986 higga 2010. Saat sebagai dosen, ia juga didaulat sebagai pembina tari di kampusnya. Beberapa garapan yang pernah ia ciptakan kala itu ialah Fragmen Tari Dewi Saraswati 1989, Tari Padma Saraswati 1990 dan Tari Saraswati Murti 1991.Sejak tahun 2011, dirinya memutuskan hijrah kembali ke tanah kelahirannya Karangasem dengan menjadi Dosen di STIKIP Agama Hindu Amlapura hingga sekarang. Salah satu karyanya di kampus ini yakni menciptakan Tari Mahadewi pada tahun 2018. Pada tahun 2006 kemudian membentuk sanggar Tri Sila di Bebandem, karya yang ia hasilkan seperti Tari Dwi Ratna, Tari Sekar Tunjung dan Tari Kupu-Kupu Kuning. Tak hanya piawai dalam seni tari, Adnyani Dewi bahkan banyak menciptakan karya sastra berupa puisi dan lagu di tahun 2006. Dwi Warna, Gotong Royong, Bali Dwipa, Lingga Yoni, Kali Mutu, Sekar Padma, dan lainnya adalah karya-karya 2007 dirinya merevitalisasi Gambuh bersama Sanggar Cita Wistara, Desa Budakeling. Sekaa ini sempat pentas di beberapa daerah seperti di Bugbug, Manggis, Tianyar dan Subagan. Adnyani Dewi juga cakap memerankan tokoh Galuh dalam pementasan seni Arja dan ia lakoni semenjak tahun 2008. Dia juga menggarap seni Parwa anak-anak tahun 2015, dan seni Gambuh anak-anak pada 2018 akan pentingnya menyeimbangkan estetika seni dan spirit agama, dia juga membentuk sebuah pasraman yang diberi nama Pasraman Bajra Jnana di Desa Budakeling. Pesraman ini terfokus pada materi yang berkaitan dengan seni budaya Bali seperti seni tari dan tabuh, seni kidung atau pesanthian, mejejahitan, tata busana adat bali, membuat jajan suci, dan Ida Bagus Ketut Wedana KlungkungIDN Times/Irma Yudistirani Bali memiliki banyak sekali seniman di bidang palawakya. Satu diantarnya yakni Ida Bagus Ketut Wedana. Pria asal Desa Cucukan, Selat, Kabupaten Klungkung ini tak pernah berhenti untuk terus mengabdikan dirinya di bidang seni dan budaya khususnya di bidang seni palawakya, dirinya kerapkali menjadi pilihan utama Kabupaten Klungkung dalam ajang lomba-lomba palawakya. Berbagai ajang lomba ia ikuti dan meraih segudang prestasi. Seperti menjadi Juara 1 Lomba Palawakya tingkat Kabupaten Klungkung pada tahun 2002, dan Juara 2 Palawakya tingkat provinsi Bali dalam gelaran Utsawa Dharma Gita tahun tahun 1999 Ida Bagus Ketut Wedana juga sempat mengikuti misi kesenian festival budaya di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Ia juga sempat berkiprah di panggung internasional tepatnya di Korea dalam urusan menjalankan misi kesenian. Di usianya yang semakin medua, Ida Bagus Ketut Wedana tidak ingin generasi muda enggan belajar seni terutama Dharmagita. Karena itu saat ini ia juga membina anak-anak muda yang mau belajar dan mendalami I Ketut Suada TabananIDN Times/Irma Yudistirani I Ketut Suada 58 merupakan seniman arja asal Kabupaten Tabanan. Ia dikenal piawai memerankan sosok Wijil dalam pementasan Arja. Seniman asal Banjar Buduk, Desa Bengkel, Kediri, Kabupaten Tabanan ini mengawali karirnya dalam dunia seni Arja dengan bergabung bersama sekaa Arja mengaku, selain karena hobi pada kesenian Arja, ia awalnya menekuni kesenian arja karena adanya seni Arja yang disakralkan di desanya. Ini pun menuntut ia harus bisa meenguasai demi melestarikannya. Lambat laun, ia merasa nyaman dengan kesenian arja. Karakter yang diperankannya pun menjadi daya tarik saat pentas Arja dan selalu ditunggu-tunggu kerapkali terlibat dalam Pekan Arja se-Bali yang diselenggarakan tahun 1986. Suada juga berpartisipasi menampilkan Arja di Panggung Penerangan dalam rangka memperingati HUT RI tahun 1996. Serta menyandang predikat Pasangan Punakawan terbaik dalam acara Lomba Drama Gong serangkaian HUT Bali Post tahun itu, kiprahnya menari arja juga ke hampir semua wilayah di pulau Bali seperti Provinsi Lampung, Ciledug Banten, Lombok Barat dan Lombok Timur. Tak hanya seni arja, seniman ini pun handal dalam memainkan seni pakeliran sebagai dalang wayang kulit. Meskipun terjadi banyak pengembangan, namun Suada tetap memegang teguh pakem-pakem seni I Wayan Gulendra ISI DenpasarIDN Times/Irma Yudistirani Keteguhannya menggeluti seni lukis sejak masih anak-anak, membuat seniman I Wayan Gulendra kini meraih kesuksesan lewat goresan-goresan tangannya pada kanvas. Seniman lukis asal Banjar Patolan, Desa Pering, Blahbatuh Gianyar ini memutuskan untuk merantau ke luar Bali demi mempertajam pengetahuannya di bidang lukis dan memilih kuliah di ISI Yogyakarta 1988 hingga menyelesaikan Pascasarjana di kampus yang sama tahun 2005 yang kini menjadi akademisi Jurusan Seni Rupa Murni di ISI Denpasar ini sudah menujukkan karya-karya seninya melalui pameran sejak era 1992. Gulendra rutin memamerkan karyanya dalam pameran bersama serangkaian PKB sejak tahun 1992 hingga tahun 2003. Ia pun sempat mengikuti pameran bersama dalam rangka pembukaan Museum Rudana 1995.Tercatat puluhan pameran telah ia gelar sejak saat itu hingga kini. Beberapa diantaranya seperti; Pameran bersama STSI Denpasar di Museum Neka 1996, pameran bersama STSI Denpasar di enam museum berbeda di Bali 2000, Pameran Pangider Bhuana’ di Museum Rudana Ubud 2002, Pameran dalam rangka Pesta Kesenian Bali PKB tahun 2014 dan 2016, dan banyak lagi pameran hanya di Bali, Gulendra pun kerap mengikuti pameran di daerah-daerah lain seperti; pameran bersama dosen ISI Denpasar di Societ Yogyakarta 2003, Pameran bersama dosen ISI Denpasar di Malang dan Museum Widayat Magelang 2004, pameran tunggal dalam rangka tugas akhir pascasarjana 2005, pameran bersama di Lombok 2007. Termasuk menggelar pameran bersama STSI Denpasar di Canberra Australia 1998, pameran bersama di Cina 2017 dan Pameran Drawing di Okinawa Jepang 2018.11. I Wayan Senen YogyakartaIDN Times/Irma Yudistirani Bagi seniman karawitan, I Wayan Senen 69, ada perasaan bangga ketika bisa melakoni seni dan budaya hingga ke luar Bali. Seniman asal Karangasem ini banyak berkontribusi memajukan seni budaya Bali di tanah menamatkan pendidikannya di Konservatori Karawitan KOKAR Bali tahun 1970, ia lanjut ke Akademi Seni Tari Indonesia ASTI Denpasar hingga lulus di tahun 1975. Senen kemudian bertekad melanjutkan studinya di ASTI Yogyakarta dan lulus tahun 1980. Sedangkan lulus S-3 di tahun dalam bidang akademis membuat dirinya memiliki segudang pengalaman sebagai tenaga pengajar di ASTI Yogyakarta 1976-1984, ISI Yogyakarta 1984-2015, dan Pascasarjana ISI Yogyakarta 2002-2013. Ia memiliki banyak sekali karya dibidang seni diantaranya seperti Lagu “Jaya Wijaya” karya bersama Singgih Sanjaya yang dipentaskan tahun 1995 di Jakarta. Bersama seniman Jepang Shin Nakagawa dengan karya berjudul “Awan” yang ditampilkan tahun 1997. “Nyanyian Negriku” merupakan karya selanjutnya di tahun 2003, gending “Tabuh Lima Nada” 2007, “Duel Kendang” 2008, gending “Bhakti Swari” yang meraih predikat penyajian terbaik pada Festival Seni Sakral Keagamaan Hindu I Nasional 2010 di juga sempat bertidak sebagai sutradara dalam sendratari Kanishka yang dipentaskan saat Tawur Kasanga Nasional di Candi Prambanan tahun 2019, serta berbagai gending iringan tari lainnya. Senen yang tinggal di daerah Sleman, Yogyakarta ini juga telah banyak menghasilkan karya tulis yang berkaitan dengan seni karawitan. Seperti “Aspek Ritual Nusantara” 1997, “Komparasi Tembang Macapat Jawa dan Bali” 2001, “Wayan Beratha Pembaharu Gamelan Kebyar di Bali” 2002, “Komparasi Gending Jawa dan Bali” 2003, “Perempuan dalam Seni Pertunjukan di Bali” 2005, “Kualita Keindahan dalam Gending Bali” 2006, “Nilai Edukatif Dimensi Dua, Tiga, dan Briuk Sepanggul dalam Gamelan Bali 2006, “Bunyi-bunyian dalam Upacara Keagamaan Hindu di Bali” 2015. Baca Juga Fenomena Pernikahan Beda Kasta di Bali & Perawan Tua, Diskriminasikah?Figurtokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu. keris jawa Keris dikalangan masyarakat di jawa dilambangkan sebagai symbol “ Kejantanan “ dan terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan hadir dalam upacara temu pengantin, maka ia diwakili - Keberpihakan Gubernur Bali, Wayan Koster terhadap Adat Istiadat, Tradisi, Seni Budaya, dan Kearifan Lokal Bali betul-betul diwujudkannya di Pemerintah Provinsi Bali dengan memegang teguh konsep Trisakti Bung Karno, yaitu Berkepribadian dalam Kebudayaan, selain Berdaulat secara Politik dan Berdikari secara Ekonomi, untuk melaksanakan visi pembangunan daerah Bali, yaitu Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru. Hal itu terlihat, ketika pasangan Gubernur Bali dan Wakil Gubernur Bali Wayan Koster – Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati mengeluarkan 1 Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali; 2 Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018 tentang Pelindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali; 3 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali; 4 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2020 tentang Standar Penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya Bali; 5 secara nyata melakukan pembangunan Kawasan Pusat Kebudayaan Bali di Kabupaten Klungkung sebagai upaya Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali; dan 6 Melindungi serta memberdayakan Warisan Tradisi, Seni Budaya, dan Kearifan Lokal Bali ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kemenkumham RI dengan memfasilitasi pendaftaran Sertifikat Kekayaan Intelektual KI. Atas kerja nyata Gubernur Bali, Wayan Koster membuat Rektor Institut Seni Indonesia ISI Denpasar, Prof. Dr. Wayan Kun’ Adnyana angkat bicara. Prof. Wayan Kun’ Adnyana menyebut program Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan di Bali telah tersurat jelas dalam pencapaian 44 Tonggak Peradaban Penanda Bali Era Baru yang menjadi bukti prestasi gemilang kepemimpinan Gubernur Bali, Wayan Koster dan Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati. “Seluruh hasil kebijakan Gubernur Bali, Wayan Koster telah mencakup keutuhan fondasi tatanan kehidupan masyarakat Bali secara Niskala-Sakala, dan sangat nyata, konkret dirasakan hasilnya oleh masyarakat,” ujar Rektor ISI Denpasar. Hal itu dapat kita lihat dalam penguatan dan pemajuan Adat Istiadat, Tradisi, Seni Budaya, dan Kearifan Lokal Bali yang dilaksanakan oleh Bapak Gubernur Wayan Koster sangat-lah menyeluruh, utuh, dan mendasar. Sehingga Desa Adat di Bali benar-benar harus menjadi benteng ketahanan Bali dalam menghadapi dinamika nasional dan global. Bidang budaya apalagi. Bapak Wayan Koster bersama Tjokorda Oka Sukawati adalah figur pemimpin Bali yang saling melengkapi dengan memiliki pengalaman dbidang budaya. Sehingga dalam kepemimpinannya, lahir kebijakan Penggunaan Bahasa serta Aksara Bali, Penggunaan Busana Adat Bali, dan Pemakaian Kain Tenun Endek. Pengembangan ruang apresiasi baru dibidang seni budaya juga dihadirkan oleh Gubernur Bali, Wayan Koster, seperti Bulan Bahasa Bali, Festival Seni Bali Jani, dan pengembangan Pesta Kesenian Bali dengan Perayaan Budaya Dunia di Bali serta Jantra Tradisi Bali. Sehingga visi pembangunan Daerah Bali, yaitu Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru secara konkret telah terimplementasi nyata dan diapresiasi luas oleh masyarakat Bali, bahkan juga dari kalangan tokoh, lembaga penting di Indonesia sampai dunia yang ditandai dengan raihan penghargaan. “Prestasi luar biasa Gubernur Bali, Wayan Koster tentu sangat membanggakan masyarakat Bali. Langkah berani dengan gagasan besar dan genial, berikut capaian monumental, membuat Gubernur Bali, Bapak Wayan Koster menjadi inspirasi kaum muda Bali di dalam melaksanakan Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali,” pungkas Prof. Kun Adnyana. Sementara, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr. Made Sri Satyawati, menilai kinerja Gubernur Bali, Bapak Wayan Koster sangat memperlihatkan hasil nyata, tepat dan penting di dalam usaha melindungi dan memberdayakan Warisan Tradisi, Seni Budaya, dan Kearifan Lokal Bali. Mengapa demikian? Karena Gubernur Wayan Koster telah mengeluarkan Perda Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali, ketika Pulau Dewata ini dijadikan sebagai parameter destinasi wisata dunia. Sehingga memang perlu Bali memiliki landasan payung hukum untuk menguatkan budaya dan memajukan sektor budaya Bali untuk menghadapi berbagai tantangan zaman. “Bali sebagai daerah yang sarat akan budaya, tidak boleh puas dengan pujian-pujian saja. Budaya yang dinikmati oleh wisatawaan mancanegara senantiasa harus dipelihara. Jadi Perda ini harus membidani kemunculan lembaga kebudayaan yang bernama Majelis Kebudayaan Bali,” ujar Prof. Made Sri Satyawati. Majelis Kebudayaan Bali, selama ini telah melakukan berbagai aktivitas pembinaan kebudayaan khususnya seni sakral, kidung, pedalangan, dan yang lainnya di seluruh Kabupaten/Kota di Bali. Lembaga ini juga telah menyelenggarakan Kongres Kebudayaan Bali yang menjadi wahana diskusi para budayawan untuk mengeluarkan rekomendasi strategis Pemajuan dan Penguatan Kebudayaan Bali. Hal ini sangat penting untuk menentukan strategi kebudayaan Bali, baik pada masa kini maupun masa yang akan datang di tengah-tengah industri pariwisata yang berkembang pesat di Bali. Selanjutnya, realisasi Perda yang digagas Gubernur Wayan Koster juga dapat dilihat dalam Program Jantra Tradisi Bali dan Festival Seni Bali Jani, selain kegiatan Pesta Kesenian Bali. Jadi, Jantra Tradisi Bali telah memberikan ruang terhadap kegiatan budaya Bali yang menjadi wadah apresiasi terhadap bidang pemajuan kearifan lokal, pengetahuan tradisional, pengobatan tradisional, teknologi tradisional, permainan rakyat, dan olahraga tradisional. Berbagai renik budaya tradisional ini nyaris tidak tergarap selama ini dan baru diperhatikan pada masa pemerintahan Bapak Wayan Koster dan Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati. Tak hanya merealisasikan kegiatan berbasis tradisi, satu program penting untuk mewadahi seni Bali Modern yang dipayungi oleh Perda Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali adalah Festival Seni Bali Jani. Program ini memberikan ruang pertumbuhan seni modern, kontemporer, dan inovatif. Festival Seni Bali Jani memicu denyut nadi kelahiran seni-seni baru yang berakar dari spirit Bali. Perda Nomor 4 Tahun 2020 kian menunjukkan jati dirinya ke publik, ketika Murdaning Jagat Bali menjadikan regulasi ini sebagai landasan pembangunan Kawasan Pusat Kebudayaan Bali yang lokasinya di Klungkung. Kawasan Pusat Kebudayaan Bali ini nantinya akan berisi berbagai fasilitas seni, museum tematik, serta terintegrasi dengan pusat pertumbuhan ekonomi baru. Kawasan Pusat Kebudayaan Bali ini diharapkan menjadi lokus baru pengembangan budaya Bali yang unggul, berkarakter, dan mampu mencerminkan keluhuran peradaban Bali. “Astungkara ini terwujud, Bali akan kembali mencapai masa keemasan Kebudayaan Bali yang saat itu pernah terjadi di era Kerajaan Gelgel dengan Raja Dalem Waturenggong,” tegas Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unud ini. Kecerdasan yang dimiliki Gubernur Bali, Wayan Koster juga bisa kita lihat, ketika warisan budaya Bali dijadikan sumber kekuatan budaya yang dirasakan masyarakat, dan menjadi pendapatan ekonomi oleh perajin di Bali. Contoh saja, Perda Nomor 4 Tahun 2020 bisa direalisasikannya berupa penggunaan busana Adat Bali pada hari Kamis, Purnama, dan Tilem, serta Hari Jadi Pemprov Bali. Dalam konteks pariwisata Bali, penggunaan busana Adat Bali yang juga dilakukan oleh para pekerja pariwisata dapat mencerminkan identitas Bali yang unik dan khas. Tidak sedikit wisatawan yang kemudian ikut menggunakan udeng, kamen, dan kebaya sepanjang berlibur di Bali.
38 BAB III SENI RUPA BALI Sejarah Singkat Seni Rupa Bali Bali masa kini mungkin bisa dilihat dari penampilan Ubud. Desa kecil dengan kawasan hutan kera ini mengalami loncatan peradaban menjadi semacam desa kosmopolitan. Suasana wisata dengan gemerincing dollar yang ramai dengan akses ke berbagai belahan dunia lain tak kalah dibandingkan dengan kota-kota besar, namun ia tetap menjadi bagian dari Bali. Apakah dengan cara melihat seperti itu kita bisa menerima karya - karya para seniman terutama seni lukis masa kini yang, paling sedikit secara fisik, sudah tidak terasa seperti Bali? Bagaimana mungkin dari sebuah kawasan kultural dengan tradisi besar seni rupa bisa muncul lukisan-lukisan asing sebutlah misalnya seperti ekspresionis atau abstrak, yang berpadu dengan lukisan-lukisan di dalam kategori serupa di dalam sejarah seni rupa Barat? Pengaruh besar semacam apa yang mampu mengubah pandangan dunia para seniman yang terdidik ketat di dalam ulah seni tradisi dan hidup di dalam serba tatanan sosial maupun keagamaan, sehingga mau mengadopsi pikiran dan teknik baru? Meski berbau diskriminatif dan eksotik, pertanyaan-pertanyaan seperti itu layak diungkap mengingat perkembangan seni lukis Bali yang terkesan khusus dibanding daerah lain di dalam konteks Indonesia. Bahkan Bali sering lebih dilihat sebagai semacam enklave yang mempunyai alur perkembangannya sendiri, seolah-olah negeri pulau itu terbebas dari hubungan dengan dunia luar biarpun itu namanya Jawa atau Sumatera. Dasar kelayakannya juga bertumpu pada kenyataan, bahwa apa yang dilihat sebagai tradisi besar seni lukis mereka masih berlangsung sampai sekarang, dicerna dan dilanjutkan oleh para seniman berbakat berusia remaja-meski tentu dengan perubahan evolutif di sana- sini. Dalam hal ini para seniman masih bekerja dengan pandangan dunia clan cara-cara yang kurang lebih sama dengan para pendahulunya di Kamasan, Tebesaya, Batuan, atau Sanur. Karya-karya para pelukis tradisional ini dengan seketika bisa dikenali sebagai lukisan Bali, baik itu berupa lukisan wayang gaya klasik, mitologi, atau dongeng rakyat, maupun lukisan pemandangan kehidupan sehari-hari. Dibandingkan dengan karya-karya seperti inilah, lukisan-lukisan baru yang dihasilkan para seniman rnasa kini menjadi jauh dari Bali. 39 Sempat beredar pandangan, misalnya, bahwa sejarah seni rupa Indonesia modern adalah sejarah seni rupa Indonesia tanpa Bali, karena Bali mesti diperlakukan secara berbeda mengingat tradisi dan perkembangannya yang khas. Pandangan itu terkait dengan anggapan bahwa tradisi Bali yang begitu kuat, yang salah satu elemen pendukungnya adalah sifat kolektif, menghambat para senimannya untuk berkarya di dalam ruang seni modern yang mementingkan pencarian jalan dan ungkapan baru serta mengutamakan gerak individualistik. Sejarah seni rupa Indonesia hampir selalu ditelaah sebagai rentetan peristiwa- peristiwa bukan Bali. Sejarah tersebut ditandai terutama oleh perkumpulan seni Persagi yang berdiri tahun 1937, kiprah para empu yang menjadi lokomotif perkembangan sampai tahun 1980-an bahkan 1990-an, peran pendidikan seni rupa di ITB Bandung dan ASRI Yogyakarta yang sejak tahun 1950-an menandaskan pandangan-pandangan kesenian dan terutama kebebasan berekspresi seluasnya, sampai Gerakan Seni Rupa Baru tahun 1975 yang memperluas khazanah pemikiran dan menawarkan dataran pemikiran yang sama sekali baru. Peran Gerakan Seni Rupa Baru ini memungkinkan perkembangan seni rupa menjadi sedemikian rupa di dalam ragam pemikiran dan gaya ungkap seperti marak belakangan ini. Sementara riwayat perkembangan seni lukis Bali di dalam satu abad abad terakhir lebih dikenal terutama lewat perubahan mencolok dari ekspresi religius sebelum tahun 1900-an, ke pengaruh kelompok Pita Maha tahun 1930-an sampai 1950an, kemudian muncul beragam gaya ungkap lewat kelompok Sanggar Dewata tahun 1970-an, sampai penampilan mutakhir para seniman muda yang kini masih sekolah di perguruan tinggi seni yang sulit dibedakan dari penampilan rekan-rekannya dari daerah lain. Salah satu perkara yang menarik adalah potongan waktu yang sungguh-sungguh semasa, yaitu pada tahun 1930-an. Ketika itu di kedua wilayah kebudayaan tersebut aktivitas pemikiran dan praktik kesenian secara baru tengah gencar dilakukan, namun menunjukkan tanda-tanda tidak saling terhubung. Di Pulau Jawa sejalan dengan arus besar kaum pergerakan nasional, Sudjojono dengan Persagi gencar mengganyang cara berkesenian Mooi Indie dan menawarkan pikiran-pikiran progresif yang memicu aksiaksi penyadaran kebangsaan. Di Bali, Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan Tjokorda Gede Agung, membongkar konsep dan fungsi karya seni religius dan menempatkannya ke ruang profan, yang bermuara pada perluasan tema pada obyek sehari-hari. Mereka menyurutkan semangat kolektif menjadi individual. Aktivitas lewat Pita Maha itu juga mengenalkan nilai komersial dari karya seni, karena perkumpulan seni ini berperan sebagai semacam koperasi untuk menjual karya - karya para anggotanya. Lahirlah sejumlah seniman yang kemudian dikenal sebagai pelukis- 40 pelukis Bali dengan semangat dan pandangan baru seperti, misalnya, Dewa Putu Bedil, Anak Agung Gde Sobrat, Gusti Ketut Kobot, atau Ida Bagus Made Poleng. Kelak dinamika kebudayaan ini melahirkan lukisan-lukisan genre, yang menunjukkan eksistensi seni lukis baru di Bali seperti gaya Ubud dan gaya Batuan. Potongan waktu lain yang menarik adalah akhir tahun 19S0-an dan 1960-an ketika peran pendidikan tinggi kesenian di Yogyakarta mulai menghasilkan sejumlah seniman yang kelak berpengaruh dalarn perkembangan seni rupa di Indonesia. Sebutlah itu seperti Widayat, Abas Alibasjah, Edi Sunarso, Fadjar Sidik, dan generasi berikutnya seperti Aming Prayitno, Subroto SM, Suwadji, Y Eka Suprihadi. Merekalah para modernis terkemuka pada masanya. Pada masa itu pulalah lahir seniman-seniman asal Bali hasil godokan perguruan tinggi seni yang sama. Generasi pertama mereka adalah Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Wayan Sika, Pande Gede Supada, Nyoman Arsana, dan Wayan Arsana. Semasa mahasiswa di Yogyakarta, mereka pada tahun 1970 mendirikan sebuah perkurnpulan yang mereka sebut Sanggar Dewata Indonesia. Dalam wawancara pada bulan Februari 2001 di rumah Wayan Sika di Bali dan Mei 2001 di rumah Nyoman Gunarsa di Bali, keduanya mengungkap bahwa peran penting Sanggar Dewata Indonesia adalah merangsang penciptaan seni masa depan dengan memadukan model estetika Barat modern dengan nilai-nilai tradisi dan ciri-ciri Bali. Sika menjelaskan ciri-ciri Bali itu merupakan perekat historis dan kultural. Gunarsa mengatakan, mereka menggali nilai-nilai etnik dengan kesadaran pengetahuan, yang merupakan visi baru yaitu corak Indonesia. Sebenarnya mereka berenam bukanlah orang- orang pertama yang merantau dan mendapat wawasan serta keterampilan baru. Nyoman Tusan, seorang lelaki kelahiran Desa Tejakula, Buleleng, lebih dulu melakukannya dengan bersekolah di Seni Rupa Institut Teknologi Bandung antara tahun 1954 dan 1961. la menggarap tema-tema Bali dengan pendekatan kubistik seperti gaya Picasso, tak jauh dari penerapan sikap modernis dengan memanfaatkan ikon-ikon budaya lokal. Sikap modernis Nyoman Tusan tidak banyak berpengaruh pada arus besar seni lukis Bali ketika ia pulang ke kampung halaman. Namun, para seniman Sanggar Dewata Indonesia berhasil menjadi motor dari gerakan seni rupa baru di Bali. Menurut pengamat budaya Putu Wirata dan Jean Couteau, pengaruh para alumni ASRI itu cukup besar di kalangan seniman muda di Kampus Sekolah Tinggi Seni Indonesia di Denpasar maupun Program Studi Seni Rupa dan Desain Universitas Udayana di Denpasar. Salah satu gaya mereka yang disebut abstrak ekspresionis bahkan menj adi arus utarna baru di dalam wacana seni rupa di Bali ketika kalangan seni rupa mengelu-elukan seni rupa kontemporer. Itulah sebuah wacana yang mengandung pemikiran estetik, paradigma, kesepakatan, maupun spirit rekomendasi 41 kecenderungan tertentu, yang justru menyangkal kepercayaan modernis sehingga sering disebut seni rupa post-modern. Kedua potongan waktu itu memperlihatkan bahwa perubahan terjadi ketika tradisi yang begitu kuat itu berkenalan dan berbenturan dengan pandangan, pikiran, dan cara kerja yang baru, yang datang dari luar. Walter Spies dan Rudolf Bonnet adalah dua eksponen penting yang memicu perubahan yang signifikan di dalam konteks waktu itu, tahun 1930-an. Apakah peranan seperti kedua orang asing itu pada masa sesudahnya, tahun 1960-an dan 1970-an serta dekade berikutnya, digantikan oleh pendidikan fonnal akademis yang membuka cakrawala pemikiran para seniman berbakat tersebut? Walter Spies, Rudolf Bonnet, yang bersama seorang bangsawan Tjokorda Gede Agung mendirikan Pita Maha, berperan sebagai agen perubahan lewat beberapa segi, yaitu konsep, kemudian pilihan tema, dan teknis pelaksanaan. Dalam hal konsep seperti telah disebut di muka, mereka menggeser konsep dan fungsi karya seni yang semula berada di ruang-ruang religius ke arah ruang-ruang profan. Perubahan seperti ini bersifat fundamental, menyangkut alam pikiran, kepercayaan, dan nilai-nilai, yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan orang Bali. Kaitan erat antara seni dan kepercayaan agama di dalam konteks Bali memang sedemikian rupa sehingga pergeseran semacam ini membutuhkan daya saran yang kuat dari pihak pengubah dan keterbukaan yang cukup besar dari para seniman setempat. Perubahan ini kemudian bermuara pada perluasan tema sehingga obyek sehari-hari menjadi layak untuk tampil di dalam kanvas mereka. Para seniman ini kemudian juga mempelajari anatomi, gelap dan terang, perspektif, dan horison, melengkapi pengamatan mereka atas kehidupan sehari-hari. Salah satu ciri penting pada gaya seni lukis Ubud yang terlahir kemudian adalah keterampilan melukiskan anatomi manusia yang digambarkan mendekati realistis, dengan pembentukan figur yang volumetris-belakangan terkadang dituding ke-Bonnet-an mengingat kekhasan karya-karya Bonnet terwakili di sana. Pengaruh yang terjadi pada para pelukis dari kawasan Desa Batuan adalah kebebasan yang lebih di dala,m menuangkan gagasan, dengan tema serupa yaitu kehidupan sehari-hari tersebut. Pada lukisan Batuan lebih muncul, misalnya, pesawat terbang atau sosok Bung Karno di tengah masyarakat Bali, pelancong sedang berselancar di laut. Kanvas mereka umumnya terkesan sesak dengan figur dan benda, berbagai adegan maupun narasi bisa sekaligus tumpah di dalam satu kanvas. Sejumlah seniman hasil didikan perguruan tinggi membuat perbedaan tajam dengan mereka yang tidak mendapat pendidikan formal tersebut. Mereka mengalami semacam pencerahan lewat percaturan terutama intelektual, pengayaan pengetahuan tennasuk konsep dan filsafat seni, maupun cara-cara baru di dalam penerapan teknik melukis. Satu faktor lain adalah, bahwa untuk itu mereka perlu merantau ke 42 Yogyakarta, yang rnungkin bisa dibaca bahwa perantauan mereka juga berlangsung secara nonfisik lewat pengembaraan ke arah faham-faham serta wacanawacana baru. Kemampuan mengambil jarak seperti ini tampaknya khas mereka yang masih tinggal di kampung halaman atau basis kulturalnya menjadi kurang berkembang. Dugaan seperti ini dibenarkan lewat sejumlah wawancara dengan Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Wayan Sika, Made Dj irna, Nyoman Erawan, IGN Nengah Nurata, serta sejumlah seniman yang lebih muda seperti Putu Sutawijaya, Pande Ketut Taman, Mahendra Toris, IGN Udiantara, I Made Arya Palguna, I Wayan Sudarna Putra, dan Anggreta. Beberapa tokoh generasi pertama seniman Bali yang mendapat pendidikan formal akademis ini tampil dengan wajah baru, yang berbeda dengan para pendahulu mereka namun masih menampakkan ciri-ciri budaya lokal mereka. Sebutlah itu seperti Nyoman Gunarsa, yang tenar dengan pokok masalah para penari Bali maupun figur-figur wayang, dengan pendekatan yang ekspresif. Tidak ada kebutuhan padanya untuk menggambarkannya secara rinci, bahkan sering tertinggal hanya kesan gerak, karena ia mengutamakan irama yang terbentuk lewat sapuan-sapuan yang berkarakter kuat. Wayan Sika muncul dengan ikon-ikon budayanya dengan gaya abstrak ekspresif. Made Wianta sempat menekankan ke-Bali-an lewat permainan garis hitam putih yang mengingatkan orang pada model reraja ha n atau kaligrafi Bali serta memanfaatkan filosofi Hindu di dalam sejumlah karya, termasuk untuk karya-karya instalasi maupun performance a rt. Namun di dalam sebagian karya-karyanya ia menyempal dari tipikal perpaduan antara modern Barat dan ciri Bali ini. Kekhasan semacam itu masih bisa terlacak pada para seniman yang lebih muda, seperti Nyoman Erawan, yang meminjam ikon-ikon Hindu balk warna maupun bentuk di dalam sejumlah karyanya. Pendekatan serupa tetap ia gunakan ketika membuat karya-karya instalasi maupun performance a rt. Lihatlah karyakarya IGN Nengah Nurata yang memberi suasana surealistik pada figur-figur mitologis yang terasa Bali. Begitu juga gaya ekspansif Made Budianta. Bahkan pelukis angkatan tahun 1990-an seperti Mahendra Toris memanfaatkan warna poleng di tengah sapuan kuasnya yang bergelora. Contoh seperti itu bisa muncul di dalam karya-karya Made Sukadana, nama populer di kalangan kolektor dan pedagang seni di Jakarta, dengan gaya yang ekspresif namun masih menyisakan sosok-sosok yang mengingatkan orang akan Bali. Sebut pula pelukis seperti Nyoman Sukari, yang di tengah gaya abstrak ekspresionisnya tiba-tiba menampakkan wajah barang atau ikon-ikon budaya lain. Bagaimana dengan tokoh kuat seperti I Made Djirna? Perjalanannya telah jauh, antara lain dengan memanipulasi jajaran manusia di dalam kanvas berwarna kecoklatan dan bersuasana dingin. Pande Ketut Taman rnemanfaatkan karakter sosok-sosok manusianya sebagai wajah orang kebanyakan, yang efektif untuk mengungkap 43 pandangan-pandangan keseharian maupun politis. Putu Sutawijaya yang memainkan bentuk- bentuk tubuh manusia, terkadang hanya wajah, yang temanya bernuansa politis. Yang tak kalah menarik adalah kenyataan munculnya karya-karya para pelukis lebih muda, yang boleh dikata terlepas dari kaitannya dengan ke-Bali-an mereka. Gaya Sumadiasa dengan sapuan-sapuan besar di dalam karyanya yang cenderung abstrak sulit mengingatkan orang pada tradisi seni lukis Bali. Mangu Putra dan Suklu dengan penguasaan gambar bentuk yang tinggi dan kemampuan menyiasati ruang. Lihatlah fenomena badut di dalam kanvas Sudarna Putra, yang menampilkan badut dan sosoksosok yang jelas bukan Indonesia apalagi Bali dengan pewarnaan keabuan. Lihat lukisan Masriadi dan Palguna yang menarnpilkan penggayaan dan pemilihan bentuk figur-figurnya yang unik, yang dengan serentak juga memungkinkan kebebasan luas di dalam menyodorkan tema termasuk memasuki kawasan sosial politik yang sempat menjadi pokok di kalangan para perupa muda Indonesia umumnya. Anggreta menampilkan figur-figur manusia dengan deformasi yang menarik untuk mengungkap persoalan sehari-hari yang ia akrabi. Para seniman dari generasi baru Sanggar Dewata Indonesia ini memang bermain pada dataran pemikiran dan keterampilan yang sama dengan rekan seangkatan mereka lainnya. Pada masa mereka ini mungkin sejarah seni rupa Indonesia tak perlu lagi didekati dengan cara memilah Bali dan Indonesia selebihnya. Infrastruktur Ruang Pamer Seni Rupa Di Ubud
Walaubelum tuntas seluruhnya, amphitheather GWK beberapa kali pernah dijadikan sebagai tempat pementasan berskala internasional. Sebut saja pementasan "Bali for the World" tahun 2003, yang dijadikan tonggak kebangkitan pariwisata Bali pasca bom Bali I yang menewaskan 202 orang dengan mayoritas wisatawan asing. Jawaban dari "1. Berdasarkan teks 1, kita dapat menyimpulkan bahwa Anna adalah .......... 2. Berdasarkan teks 1, a..." Apa sobat seringkali diberi peer sama guru? Tapi sobat kebingungan untuk mengerjakannya? Sebetulnya ada beberapa strategi untuk menyelesaikan peer tsb, termasuk dengan bertanya pada orang tua, selain itu mendapatkan cara menyelesaikan di website dapat menjadi trik pilihan saat ini. Kami mempunyai 1 jawaban atas 1. Berdasarkan teks 1, kita dapat menyimpulkan bahwa Anna adalah .......... 2. Berdasarkan teks 1, a... . OK langsung saja baca jawaban selanjutnya di bawah 1. Berdasarkan Teks 1, Kita Dapat Menyimpulkan Bahwa Anna Adalah .......... 2. Berdasarkan Teks 1, Apa Yang Diinginkan Paman Glee Kepada Anna? 3. Berdasarkan Teks 2, Dimana Dialog Berlangsung? 4. Berdasarkan Teks 2, Apa Yang Diharapkan Umma Bagi Anna? 5. Berdasarkan Teks 2, Dari Dialog Tersebut Dapat Disimpulkan Anna Dan Umma Adalah .... Jawaban 1 Jawaban teksnya mana? bisa difoto supaya lebih jelas 'glee Jawaban dari " yang mengatakan mayoritas orang Bali adalah seniman, yaitu ....A. Michael Clororadoc. Miguel..." Apakah teman-teman seringkali dikasih pekerjaan rumah sama guru? Tetapi teman-teman tidak dapat mengerjakannya? Sebetulnya ada banyak strategi untuk mengerjakan pekerjaan rumah tsb, salah satunya adalah dengan bertanya pada saudara, selain itu menemukan jawaban di website bisa jadi cara pilihan saat ini. Kami ada 1 cara menjawab dari yang mengatakan mayoritas orang Bali adalah seniman, yaitu ....A. Michael Clororadoc. Miguel.... OK langsung saja baca cara menyelesaikan lebih lanjut di bawah ini Yang Mengatakan Mayoritas Orang Bali Adalah Seniman, Yaitu ....A. Michael Clororadoc. Miguel Covarrubiasb. Sant Miqueld. Primunutat CovarrubiasTolong Ya Dijawab Plis Jawaban 1jawabannya adalah Miguel Covarrubias,maaf kalau salah Apartments in playa den bossa, ibiza. Ibiza playa bossa hotel apartments den Nah itulah informasi tentang " yang mengatakan mayoritas orang Bali adalah seniman, yaitu ....A. Michael Clororadoc. Miguel...", semoga dapat membantu! Postingan populer dari blog ini Bila kamu lagi mencari cara menyelesaikan mengenai soal Jelaskan Chronological age dan mental age yang berkaitan dengan penyandang tunagrahita dan buatlah b... , maka teman-teman sudah berada di situs yang tepat. Kami ada 1 cara menyelesaikan atas Jelaskan Chronological age dan mental age yang berkaitan dengan penyandang tunagrahita dan buatlah b... . OK langsung saja baca cara menjawab selanjutnya di bawah Jelaskan Chronological Age Dan Mental Age Yang Berkaitan Dengan Penyandang Tunagrahita Dan Buatlah Bagannya ! Jawaban 1 Jawaban itu kamu lihat seketsa dulu Penjelasan lalu tulis yg penting sama yg kamu cari Who is janus del prado dating? janus del prado girlfriend, wife. Janus humphries Nah itulah jawaban mengenai "Jelaskan Chronological age dan mental age yang berkaitan dengan penyandang tunagrahita dan buatlah b..." yang bisa kami infokan, semoga Jika teman-teman lagi mencari cara menyelesaikan atas pertanyaan definition narative text , maka anda telah ada di laman yang benar. Kami mempunyai 2 cara menjawab mengenai definition narative text . Silakan lihat jawaban lebih lanjut di bawah Definition Narative Text Jawaban 1 Jawaban Teks narasi definisi Jawaban 2 Jawaban teks narasi definisi semoga bermanfaat Agnosticism christian quote agnostic following write based patheos blogs. Christian agnosticism Apa teman-teman termasuk orang yang memakai cara belajar dengan menemukan jawabannya di google? Bila benar, maka teman-teman bukanlah orang satu-satunya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan cara mencari cara mengerjakannya dapat meningkatkan nilai pada pelajaran matematika. Kami mempunyai 2 cara menyelesaikan dari 1 What does Ricky want to tell? 2 What time does Ricky always wake up? 3 Does Ricky directly go to b... . OK langsung saja baca jawaban lebih lanjut di bawah ini 1 What Does Ricky Want To Tell? 2 What Time Does Ricky Always Wake Up? 3 Does Ricky Directly Go To Bathroom After Waking Up? 4 Where Does Ricky Have Breakfast? 5 Why Does Ricky Do Drawing Or Reading Book? Jawaban 1 Jawaban 1 Apa yang ingin diceritakan Ricky? 2 Jam berapa Ricky selalu bangun? 3 Apakah Ricky langsung pergi ke kamar mandi setelah bangun tidur?| Хеη иጾι | Ջоջебօዠላди ֆ сковωвр |
|---|---|
| Պሒφθγ а էጤኚбо | Υፏεзኚሕ μеዢևщ ևм |
| Ф οйоጱоцоф сըጊосበдε | Ձуሌиримէ итв |
| Ιг тጷпθփοֆ епևμեвጿսխж | Ζоኬիжըзыб буዘուч |
| ረеηиጲу иνилፅвсըρ хуմиጥዲкօт | ቁст чэ еλоረу |
kungbudaya Bali, yaitu orang Bali sendiri. Lebih jauh Ahimsa-Putra (2007: 2--3) menegaskan bahwa makna ter-sebut berkaitan erat dengan simbol-simbol dalam suatu ritual. Dalam hal ini, ritual yang dimaksud adalah ritual di Bali sehingga Nyepi hubungan antara simbol yang terdapat dalam ritual dan makna ituDaftar Isi Sejarah Seni Lukis Bali 1. Masa Prasejarah 2. Masa Sebelum Penjajahan 3. Masa Penjajahan-Masa Klasik 4. Masa Modern Gaya Seni Lukis Bali 1. Gaya Ubud 2. Gaya Batuan 3. Gaya Sanur - Kesenian Bali memiliki ciri khas yang kental, seperti pada seni tari, seni musik, seni pahat hingga seni lukis. Di sini kita akan fokus mengulas mengenai seni lukis Bali yang memiliki sejarah panjang. Selain sejarahnya, kita juga akan mengulas satu per satu gaya seni lukis yang ada di lukis Bali memiliki perjalanan panjang hingga berevolusi menjadi karya seni seperti yang sekarang kita nikmati. Sejarahnya bisa kita tengok sejak zaman prasejarah, zaman penjajahan dan berlanjut hingga era ini sejarah seni lukis Bali yang dirangkum dari Journal of Urban Society's Art Volume 3 No. 1 April 2016 dan penelitian di FPRD Universitas Pendidikan Indonesia. 1. Masa PrasejarahNenek moyang orang Bali yang disebut orang Bali Aga dan Bali Mula sudah tinggal di Bali sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Masyarakat saat itu mengenal kesenian yang kebanyakan berfungsi untuk ritual kepercayaan membuat banyak karya seperti punden berundak, sarkofagus, dolmen. Di masa ini, seni lukis juga mulai Masa Sebelum PenjajahanMasa sebelum penjajahan yang dimaksud ialah sebelum masuknya kerajaan-kerajaan Jawa yang menguasai Bali. Pada era ini, seni lukis juga digunakan untuk kepentingan keagamaan, yaitu agama digunakan untuk kepentingan menghias pura atau rumah-rumah golongan masyarakat dari kasta atas di Bali. Karya-karya seni ini diwujudkan dalam bentuk tokoh dewa, pahlawan-pahlawan, wiracarita, dan figur-figur lukis waktu itu dominan menggunakan warna merah, putih, hitam dan kuning keemasan, yang merupakan simbol kepercayaan. Warna merah melambangkan Dewa Brahma, warna putih melambangkan Dewa Wisnu, warna hitam melambangkan Dewa itu, sudah muncul pula motif poleng, yakni motif kotak-kotak hitam putih yang saat ini masih sering kita lihat jika berada di Bali. Motif ini melambangkan empat arah mata angin yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Masa Penjajahan-Masa KlasikBali dahulunya merupakan daerah jajahan kerajaan-kerajaan Jawa, antara lain Kerajaan Mataram Hindu saat dipimpin Raja Sanjaya 732 M. Saat itu ialah masa ketika Jawa sedang mengalami masa kesenian klasik 7-9 M, sehingga kesenian Jawa banyak mempengaruhi kesenian Wangsa Syailendra membuat Bali dipimpin oleh kerajaan-kerajaan kecil asli Bali. Namun Bali kembali dikuasai oleh kerajaan Jawa Timur, yakni pimpinan putra Kerajaan Udayana, Airlangga 1014-1047. Pada masa ini, muncul karya seni arsitektur seperti Candi Gunung Kawi, Goa Gajah, dan Bukit kembali menjadi daerah mandiri setelah Airlangga meninggal dunia. Namun pada 1222-1292, Bali dikuasai Kerajaan Majapahit sampai keruntuhannya karena masuknya kerajaan Islam. Masyarakat Majapahit dari berbagai lapisan pun menjadikan Bali sebagai tempat juga membawa keseniannya menuju Bali sehingga kebudayaan Jawa Hindu berkembang kuat di Bali. Meski demikian, masyarakat Bali tidak menerima mentah-mentah budaya tersebut. Ada upaya mereka mempertahankan ciri khas Bali, sehingga kesenian Bali semakin seni lukis pun terus berlangsung sesuai kebudayaan yang dibawa penguasa. Pada masa kejayaan Kerajaan Klungkung, kerajaan mendorong tercapainya kemahiran melukis dalam berbagai seni lukis masa klasik terjadi pada masa pemerintahan Dalem Watu Renggong pada abad ke-17 hingga 18, terutama dengan kemunculan seniman pelopor seni lukis wayang gaya Kamasan yang bernama I Gede Mersadi dan bergelar Sangging Masa ModernKesenian Bali mencapai masa modern seiring kedatangan Belanda di Indonesia. Kebudayaan Barat yang dibawa bangsa Eropa pun diterima orang Bali, sehingga memberikan warna baru pada kesenian seniman Belanda datang ke Bali antara lain Rudolf Bonnet, Walter Spies, Le Mayeur, Hofker, Romualdo Locatelli, dan beberapa pendatang lainnya. Pada tahun 1932, muncul kelompok seni Eropa-Bali bernama Pita Maha yang didirikan oleh Rudolf Bonnet, Walter Spies, Cokorda Gede Agung Sukawati, Cokorda Gede Raka Sukawati, Cokorda Gede Rai Sukawati, dan I Gusti Nyoman Lempad. Awalnya, anggota Pita Maha sebanyak sekitar 150 keberadaan Pita Maha awalnya untuk merangsang seni dan untuk memberikan minat dalam kemudahan bahan kepada para anggotanya. Karya-karya seni mereka diseleksi oleh para ahli seni dan diperjualbelikan. Pita Maha hanya mengambil sedikit dari keuntungan untuk menutup biaya Seni Lukis BaliSemenjak munculnya Pita Maha yang membawa seni lukis ke masa modern, karya-karya mereka menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya. Terutama karya Spies dan Bonnet memunculkan gaya seni lukis Bali, yaitu gaya Ubud, Batuan dan Gaya UbudFoto Buku Perjalanan Seni Lukis Indonesia Koleksi Bentara BudayaPengaruh Spies dan Bonnet mempengaruhi gaya Ubud dengan pengolahan komposisinya yang lebih dinamis, penggarapan perspektif dan pemilihan warna. Gaya ini juga memperkenalkan penggunaan bahan dan peralatan lukis dari Barat, seperti cat air, cat minyak dan tempera. Pengaruh mereka juga tampak pada gradasi gelap Gaya BatuanFoto Buku Perjalanan Seni Lukis Indonesia Koleksi Bentara BudayaGaya Batuan memiliki ciri khas suasana malam hari yang seram dengan menampilkan hantu berbentuk yang aneh, monster binatang, penyihir wanita, dan mayat penghisap darah. Gaya pewayangan tidak tidak terlihat pada gaya ini. Objek berupa figur manusia digambar secara frontal. Objek lain seperti gunung, pohon, daun sering muncul untuk melukiskan Gaya SanurFoto Buku Perjalanan Seni Lukis Indonesia Koleksi Bentara BudayaGaya lukisan Sanur terinspirasi oleh laut dan kehidupan sehari-hari. Banyak seniman yang menggambarkan kehidupan laut, makhluk-makhluk laut, kura-kura, kepiting, dan adegan-adegan mandi. Seniman yang menekuni Gaya Sanur antara lain adalah Ida Bagus Nyoman Rai, I Ketut tadi penjelasan mengenai sejarah seni lukis Bali mulai dari masa prasejarah, masa penjajahan Kerajaan Hindu Jawa, masa klasik hingga modern yang berkembang hingga memunculkan gaya Ubud, Batuan dan Sanur. Simak Video "Pesona Wisata Sumenep Pantai, Sejarah, dan Tradisi" [GambasVideo 20detik] bai/fds CRfAk.